Powered By Blogger

Senin, 11 April 2011

Catatan Harian Seorang Ayah

- bagi yang baca, sorry ini repost, yang ngepost hanya sedang rindu  sangat pada sosok ayahnya,ditambah lagi hari ini baca tarbawi edisi  khusus "AYAH PUNYA CARA SENDIRI DALAM MENCINTAI KITA"- AP

 Medan, 15 Juni 1975

 Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku  bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap  bersyukur engkau lahir dengan selamat setelah melalui jalan divakum.  Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan Syadida. Aku sangat  terkesan dengan janji Allah dalam surat Al Ahzab ayat tujuh puluh,  maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi seorang  yang kaya iman dan memperoleh telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran.  Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur...

1981

Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun.  Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu.  Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan  gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan  engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat  keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri  saudarimu yang lain.

1987

Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas  Cermat tingkat nasional di TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau  tampil penuh percaya diri di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada  teman-temanku; itu anakku Qaulan... Meski tidak juara pertama, aku tetap  bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu  kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak  seperti keempat kakakmu yang kalem dan cenderung memiliki sifat-sifat  perempuan, engkau justru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala,  meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.

Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman,  mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan  genteng bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang  alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti  saudarimu yang lain. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku  sering memperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku  menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengetahuan dan  permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua pergi memancing atau  sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat  aku mengajar.

Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau menolak bersekolah  di Tsanawiyah seperti saudarimu. Diam-diam tanpa sepengetahuanku engkau  telah mendaftar di sebuah SMP negeri. Bukan kepalang kemarahanku.  Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak mungkin tangan ini sudah  berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya watakmu, bahkan tak  setetes airmata jatuh dari kedua matamu yang tajam menatapku. Putriku,  jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam  pola pergaulan yang tak benar, anakku. Terlebih-lebih saat engkau  menolak mengenakan jilbab seperti keempat kakakmu. Betapa sedih dan  kecewa hatiku melihatmu, Nak...

1993

Tahun ini engkau menamatkan SMA-mu. Engkau tumbuh menjadi gadis cantik,  periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun  sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota  kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah  tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil  Ustadz, putri seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan  Islam...

Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya  berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa  senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan  yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada  dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang  paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil  mendidikmu dengan cara yang Islami. Dalam doa-doa malamku selalu ku  bermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas  dari pengawasan dan pandangan mataku.

Kesedihan makin bertambah tatkala diam-diam engkau ikut UMPTN dan lulus  di fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku tak  sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak  laki-laki dan bukan satupun mahrommu? Dalam silsilah keluarga kita tidak  satupun anak perempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat kakakmu  menimba ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga  kita adalah keluarga guru, anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan,  bahwa Islam juga butuh arsitek, butuh teknokrat, Islam bukan tentang  ibadah melulu... Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku  terima segala argumen dan pemikiranmu, putriku.. Dan aku akan lebih bisa  menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai  masa kuliahmu.

1995

Tahun ini tidak akan pernah kulupakan. Akan kucatat baik-baik... Engkau  putriku, yang selalu kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah SWT  mendengar dan mengabulkan pintaku. Ketika engkau pulang dari kuliahmu;  subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu, aku  sampai tidak mengenalimu, putriku. Engkau telah berubah, putriku. Apa  sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku  mengajarkan padamu tentang kewajiban Muslimah menutup aurat, tak  sekalipun engkau cela perkataanku meski tak sekalipun juga engkau  indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku kuliah, tiba-tiba engkau  mengenakan busana takwa itu? Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah  menerima kebenaran ini? Putriku, setelah sekian lamanya waktu berlalu,  kembali engkau mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur.

1997

Putriku, kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak  asa tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu.  Engkau menjadi sangat santun, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat  saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya. Kini, hanya engkau  aku dan ibumu yang mendiami rumah ini. Kurasakan rumah kita seolah-olah  berpendar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu. Gemercik suara  air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi.  Putriku, jika aku pernah merasa bahagia, maka saat paling bahagia yang  pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu  tengah menangis dalam sujud malammu.... Selalu kuyakinkan diriku bahwa  akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku...

1998

Putriku, kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat  beralasan. Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum laude.  Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu,  diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti  kakak-kakakmu terdahulu? Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa polesan  apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda, semua itu  justru membuatku semakin bangga padamu. Entah darimana engkau bisa  belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku... Jika hari ini aku  meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah airmata kekaguman  melihat kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yang engkau pegan teguh.  Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu, putriku...

1 Agustus 1999

Putriku, bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga. Aku teringat  Rasulullah mengakhiri masa dakwahnya di dunia pada usia yang sama.  Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung yang  kuderita selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat, saat kudapati  jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak satu pun dari mereka  bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina selama puluhan tahun.  Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu  para suami mereka. Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik sesuai  dengan keinginanku kini seolah-oleh bersekutu menjauhiku. Jika aku  menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan kondisi sangat  lemah, putriku. Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku.


Putriku.... kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan  padamu. Aku percaya padamu... Jika aku memberikan buku ini padamu, itu  karena aku ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa  dulu aku sering memarahimu.. maafkan buya, putriku... Kini hanya engkau  satu-satunya harapanku...Aku percaya perguruan yang telah kubangun  dengan tanganku sendiri ini padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya  menjadi sebuah pesantren. Engkau masih ingat lapangan tempat kita dulu  menaikkan layangan? Itu adalah tanah warisan almarhum kakekmu. Di  lapangan itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri  bermukim. Engkau seorang arsitek, anakku, tentu lebih memahami bangunan  macam apa yang sesuai untuk kebutuhan sebuah asrama pesantren...  Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku  yakin, dari tanganmu, dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan  tindakanmu yang selalu sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah  fauzan'adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah janjikan,  yakinlah, putriku... Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam  kapasitas keilmuan dunia dan akhirat. Kini kusadari engkau bukan saja  sekedar terlahir dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama  Hidayah. Semoga Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau  lalui, putriku. Amien Ya Rabbal 'Alamiin.

 12 Agustus 1999

 Rabbi, jika airmata ini tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan  buyaku Engkau panggil, tapi sebab aku belum mengenali buyaku selama ini,  seutuhnya. Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya. Rabbi, perkenankan  aku menjalankan amanah Buya dengan segenap ridha-Mu. hanya Engkau.. ya  Mujib...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar